Legalitas vs Legitimasi: Ketika Putusan Hukum Kehilangan Rasa Keadilan
Pendahuluan
Putusan hukum adalah puncak dari suatu proses peradilan. Dalam negara hukum, putusan tersebut dianggap sah jika telah memenuhi unsur legalitas, yakni sesuai prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, sah secara hukum belum tentu dirasa adil oleh masyarakat. Di sinilah muncul ketegangan antara legalitas dan legitimasi. Ketika putusan hukum tidak lagi menyuarakan nilai-nilai keadilan, maka yang timbul adalah krisis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan itu sendiri.
Membedakan Legalitas dan Legitimasi
Secara konseptual:
Legalitas adalah kesesuaian suatu tindakan atau putusan dengan norma dan prosedur hukum yang berlaku. Legalitas menekankan aspek formal.
Legitimasi, sebaliknya, merujuk pada penerimaan sosial terhadap suatu tindakan atau putusan. Ia bersandar pada keadilan moral, nilai masyarakat, dan rasa kebenaran.
Seperti dikemukakan oleh Lon L. Fuller dalam The Morality of Law (1964), hukum yang hanya menekankan kepatuhan prosedural tanpa mempertimbangkan keadilan moral akan kehilangan makna substansialnya.
Fenomena Putusan Hukum yang Tidak Legitimate
1. Putusan Kontroversial dalam Kasus Korupsi dan Pelanggaran HAM
Di Indonesia, beberapa putusan pengadilan, meski sah secara hukum, justru memunculkan kemarahan publik. Contoh: vonis ringan terhadap pelaku korupsi kakap atau impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM berat. Di mata hukum, prosesnya mungkin benar. Namun di mata rakyat, keadilan tidak hadir.
2. Kemenangan Formal Tapi Kehilangan Moral
Beberapa kasus perdata terkait konflik agraria menunjukkan bagaimana pihak yang memiliki kekuatan modal bisa menang secara legal, tetapi mengorbankan hak-hak masyarakat kecil. Hal ini mencerminkan bahwa hukum dapat digunakan untuk melanggengkan ketimpangan, jika tidak dipandu oleh legitimasi moral.
Mengapa Legalitas Tidak Cukup?
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum tidak boleh berhenti pada positivisme kaku, tetapi harus bergerak menuju hukum progresif yang mengedepankan nilai-nilai keadilan substantif. Sebab, masyarakat tidak hanya menuntut prosedur yang benar, tetapi juga substansi yang adil.
Putusan yang hanya menekankan legalitas, tapi mengabaikan keadilan, bisa menimbulkan legitimasi semu. Hukum kehilangan roh-nya sebagai penjaga keadilan, dan berubah menjadi alat formalitas yang kering makna.
Dampak Ketika Legalitas Mengalahkan Legitimasi
1. Krisis Kepercayaan Publik
Masyarakat mulai mempertanyakan netralitas dan keberpihakan pengadilan. Ketika rasa keadilan tidak hadir dalam putusan hukum, kepercayaan publik tergerus.
2. Potensi Main Hakim Sendiri
Ketidakpercayaan terhadap proses hukum mendorong masyarakat menyelesaikan masalahnya di luar jalur hukum — mulai dari kekerasan hingga pengadilan rakyat informal.
3. Deligitimasi Institusi Peradilan
Lembaga peradilan kehilangan wibawa dan otoritas moralnya. Negara hukum berubah menjadi negara prosedural, tanpa jiwa dan rasa keadilan.
Menemukan Titik Temu: Legalitas yang Legitimate
Agar putusan hukum tidak hanya sah secara hukum tetapi juga diterima masyarakat, diperlukan:
- Penafsiran hukum yang berkeadilan, bukan hanya tekstual tetapi juga kontekstual.
- Kemandirian hakim yang berpihak pada keadilan sosial, bukan hanya pada teks hukum.
- Etika profesi hukum yang tinggi dari seluruh aparat penegak hukum.
Menurut Gustav Radbruch, keadilan harus lebih diutamakan dibanding hukum positif. Dalam teori Radbruch's Formula, ketika hukum positif sangat tidak adil, maka hukum tersebut kehilangan kekuatannya sebagai hukum.
Penutup
Legalitas adalah fondasi, tapi legitimasi adalah roh dari sebuah putusan hukum. Ketika hukum hanya bicara soal prosedur dan lupa pada keadilan, maka hukum itu akan kehilangan otoritas moralnya. Dalam negara hukum yang beradab, hukum tidak cukup hanya benar secara formal, tetapi harus adil secara substansial.
Referensi
- Lon L. Fuller. The Morality of Law. Yale University Press, 1964.
- Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif. Kompas, 2006.
- Gustav Radbruch. “Gesetzliches Unrecht und übergesetzliches Recht” (1946).
- Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Pers, 2011.
- Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika, 2010.
Komentar