Dekriminalisasi dan Kriminalisasi Baru dalam KUHP 2023: Kajian Politik Hukum Pidana
Pendahuluan
Reformasi hukum pidana nasional telah mencapai tonggak penting dengan diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru melalui UU No. 1 Tahun 2023. Undang- undang ini menggantikan KUHP kolonial (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië), dan menjadi refleksi dari perkembangan politik hukum pidana Indonesia yang lebih kontekstual dan nasionalis. Di antara berbagai perubahan penting dalam KUHP 2023, dua aspek yang sangat mencolok adalah kriminalisasi baru dan dekriminalisasi terhadap sejumlah perbuatan.
Dalam pendekatan politik hukum pidana, kriminalisasi dan dekriminalisasi bukan semata proses teknis, tetapi merupakan manifestasi dari nilai, ideologi, dan kepentingan negara dalam membentuk dan mempertahankan keteraturan sosial. Kriminalisasi merujuk pada keputusan untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, sedangkan dekriminalisasi adalah proses untuk menghapus status pidana dari suatu perbuatan. Tulisan ini menganalisis kedua gejala tersebut dalam KUHP 2023, dengan menelaah latar belakang normatif, pertimbangan politik hukum, serta implikasinya terhadap demokrasi, HAM, dan masyarakat sipil.
Perubahan dalam KUHP 2023 tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik dan kebutuhan rekonstruksi hukum nasional pasca-reformasi. Dalam konstruksi ini, politik hukum pidana menjadi arena penting di mana negara mendefinisikan apa yang dianggap berbahaya dan layak dikriminalisasi, serta mana yang perlu dikeluarkan dari intervensi hukum pidana. Hadjon (1995) menegaskan bahwa politik hukum pada dasarnya adalah kebijakan negara dalam pembentukan dan penerapan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan sosial tertentu, termasuk keadilan, ketertiban, dan perlindungan HAM. Oleh karena itu, kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam KUHP 2023 mencerminkan bukan hanya arah kebijakan pidana, tetapi juga ideologi kekuasaan yang dominan dalam perumusan norma.
Dalam kajian kebijakan hukum, pergeseran kriminalisasi dan dekriminalisasi merupakan cerminan dari pilihan ideologis dan nilai yang dianut oleh negara. KUHP 2023 menunjukkan gejala ambivalensi: di satu sisi ingin tampil progresif dan modern dengan membuka ruang bagi pendekatan non-penal, namun di sisi lain masih kental dengan pengaruh moralitas konservatif yang menuntut kriminalisasi atas perilaku privat. Fenomena ini patut dikaji secara kritis karena menyangkut hak dasar warga negara dan masa depan sistem hukum pidana Indonesia yang lebih demokratis, akuntabel, dan berkeadilan substantif (Setiyono, 2020).
Dasar Normatif dan Teoritis Kriminalisasi dan Dekriminalisasi
Kriminalisasi dan dekriminalisasi merupakan instrumen politik hukum pidana untuk mengatur masyarakat melalui hukum. Nils Christie (2004) menyatakan bahwa kriminalisasi selalu merupakan proses politis, karena melibatkan pemilihan norma sosial tertentu untuk diberi kekuatan koersif negara. Dalam sistem demokratis, kriminalisasi harus memenuhi tiga kriteria utama: adanya bahaya nyata bagi masyarakat, kegagalan kontrol sosial non-penal, dan proporsionalitas antara pelanggaran dan sanksi (Ashworth & Zedner, 2010).
Dekriminalisasi, sebaliknya, dilakukan untuk mencegah overcriminalization, mengurangi beban lembaga peradilan, dan melindungi hak individu dari intervensi negara yang berlebihan. Menurut Arief (2008), dekriminalisasi harus mempertimbangkan efektivitas sanksi pidana, biaya sosial, serta ketersediaan alternatif non-penal seperti sanksi administratif atau tindakan perdata.
KUHP 2023 memuat praktik kedua instrumen ini secara eksplisit. Terdapat kriminalisasi terhadap perilaku yang sebelumnya belum diatur secara pidana, seperti kohabitasi (Pasal 411–413), penghinaan terhadap lembaga negara (Pasal 240–241), serta penyebaran berita bohong yang menyebabkan keresahan publik. Di sisi lain, terjadi dekriminalisasi terhadap beberapa perbuatan ringan yang kini dialihkan ke jalur perdata, administratif, atau sanksi sosial.
Dalam konteks hukum Indonesia, dasar normatif kriminalisasi dan dekriminalisasi juga dapat dilacak dalam Pasal 28D dan 28G UUD 1945 yang menjamin perlindungan terhadap kepastian hukum dan hak atas rasa aman. Ini menunjukkan bahwa segala bentuk perluasan maupun pengurangan ruang pidana harus selalu dikaitkan dengan perlindungan konstitusional terhadap warga negara. Selain itu, Penjelasan Umum KUHP 2023 menegaskan bahwa kebijakan pidana dalam KUHP baru harus memperhatikan asas keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Artinya, keputusan kriminalisasi atau dekriminalisasi tidak boleh didasarkan semata pada tekanan politik, tetapi juga pada justifikasi normatif dan empiris yang dapat diuji secara akademik maupun konstitusional.
Secara teoritis, kriminalisasi harus memenuhi prinsip subsidiaritas, yakni hanya digunakan apabila mekanisme non-penal tidak mampu lagi menyelesaikan masalah sosial yang terjadi. Prinsip ini berkaitan erat dengan asas ultimum remedium, di mana hukum pidana harus menjadi pilihan terakhir dalam penanganan perilaku menyimpang. Ashworth (1999) menekankan bahwa hukum pidana adalah bentuk kekuasaan negara yang paling represif, sehingga harus digunakan secara hati-hati dan proporsional. Dengan kata lain, setiap perluasan kriminalisasi dalam KUHP 2023 seharusnya memiliki dasar keilmuan, rasionalitas hukum, dan urgensi sosial yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik.
Di sisi lain, dekriminalisasi dalam perspektif kebijakan pidana merupakan bentuk respons negara terhadap realitas hukum yang berubah dan keterbatasan kapasitas sistem peradilan pidana. Tonry (2011) menyatakan bahwa dekriminalisasi adalah langkah penting untuk mengurangi beban kriminalisasi berlebihan yang tidak efektif secara sosial dan ekonomi. Misalnya, dekriminalisasi atas pelanggaran ringan atau perkara yang memiliki nilai kerugian kecil seringkali lebih efektif jika diselesaikan melalui sanksi administratif atau alternatif penal. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini juga mendukung asas cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kriminalisasi Baru: Reaksi Sosial atau Alat Kontrol Politik?
Kriminalisasi baru dalam KUHP 2023 menimbulkan perdebatan publik yang sengit. Beberapa pasal, seperti Pasal 411 tentang perzinaan dan Pasal 412 tentang kohabitasi, dikritik karena dianggap masuk ke wilayah privat dan bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara dalam kehidupan pribadi. Lembaga seperti Human Rights Watch (2023) menyebut kriminalisasi ini sebagai kemunduran demokrasi yang dapat menimbulkan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.
Muladi (2002) mengingatkan bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan untuk memaksakan moralitas mayoritas terhadap minoritas, karena berisiko menciptakan “negara etis” yang represif. Selain itu, kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, dan simbol negara dianggap rawan mengkriminalkan kritik politik yang sah, sehingga dapat menghambat kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945 dan ICCPR.
Namun, pembentuk UU berargumen bahwa kriminalisasi ini adalah bentuk penguatan nilai-nilai Pancasila dan perlindungan terhadap ketertiban sosial. Ini menunjukkan bahwa kriminalisasi dalam KUHP 2023 tidak hanya berbasis pada teori hukum pidana klasik, tetapi juga mengandung elemen politik moral dan stabilitas nasional.
Kriminalisasi terhadap sejumlah perbuatan dalam KUHP 2023, seperti kohabitasi, penghinaan terhadap simbol negara, dan penyebaran berita bohong, kerap dinilai sebagai bentuk reaksi negara terhadap tekanan moral dan sosial tertentu, terutama dari kelompok konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa proses kriminalisasi tidak selalu berangkat dari urgensi objektif atas bahaya sosial, melainkan dapat merupakan hasil dari kalkulasi kekuasaan untuk merespons tekanan politik atau mempertahankan legitimasi ideologis. Roitman (2020) menyebut fenomena ini sebagai instrumental criminalization, yakni penggunaan hukum pidana bukan demi keadilan, melainkan untuk kepentingan politik, ideologi, atau kontrol sosial.
Lebih jauh, kriminalisasi yang berbasis pada moralitas mayoritas berisiko mengabaikan pluralitas masyarakat dan prinsip negara hukum yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak individu. Menurut Butt & Lindsey (2012), hukum pidana Indonesia sering kali mencerminkan kompromi antara nilai-nilai modern (HAM, demokrasi) dan nilai tradisional atau agama yang dominan, yang kadang bertabrakan dengan prinsip universal hak asasi manusia. Ini menegaskan bahwa kriminalisasi baru dalam KUHP bukan hanya produk hukum, tetapi juga alat kontrol sosial dan politik, yang harus diawasi secara kritis agar tidak menyimpang dari semangat keadilan substantif dan konstitusionalisme.
Dekriminalisasi: Efisiensi Sistem Hukum dan Pendekatan Restoratif
Di sisi lain, KUHP 2023 juga memuat beberapa bentuk dekriminalisasi dan reduksi pemidanaan, terutama terhadap perbuatan ringan yang sebelumnya diancam pidana. Misalnya, beberapa pelanggaran ringan dalam lalu lintas, pencemaran ringan, dan perbuatan yang berdampak minimal terhadap masyarakat kini lebih diarahkan untuk diselesaikan melalui mekanisme alternatif penal seperti restorative justice dan mediasi penal (Pasal 15–17).
Langkah ini selaras dengan pendekatan progresif yang menyerukan agar hukum pidana tidak digunakan secara eksesif. Hoefnagels (1973) dalam konsep non-penal policy menekankan pentingnya penggunaan instrumen hukum lain (perdata, administratif, sosial) untuk menyelesaikan konflik, terutama ketika sanksi pidana tidak efektif.
Dekriminalisasi dalam KUHP juga menunjukkan pergeseran dari paradigma retributif menuju paradigma korektif dan restoratif. Ini merupakan langkah positif dalam membangun sistem hukum pidana yang lebih proporsional dan humanis. Namun, efektivitas dekriminalisasi ini sangat tergantung pada kesiapan institusi hukum dan perubahan budaya aparat.
Dekriminalisasi juga sejalan dengan upaya untuk mengurangi overcrowding di lembaga pemasyarakatan, yang telah lama menjadi masalah serius dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (2022), jumlah tahanan dan narapidana jauh melampaui kapasitas hunian, sehingga menimbulkan berbagai pelanggaran HAM dan tidak tercapainya tujuan pembinaan. Dekriminalisasi terhadap pelanggaran ringan dan pengalihan penyelesaian perkara ke jalur non-litigasi, seperti mediasi penal atau sanksi administratif, dapat secara signifikan mengurangi beban institusi pemasyarakatan dan memungkinkan fokus lebih besar terhadap rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Di sisi lain, pendekatan restoratif yang dikedepankan dalam KUHP 2023 melalui Pasal 15–17 mencerminkan pergeseran nilai dalam sistem hukum pidana, dari penghukuman ke pemulihan relasi sosial. Pendekatan ini memberi ruang bagi korban dan pelaku untuk terlibat dalam penyelesaian yang lebih dialogis, partisipatif, dan menekankan pada keadilan yang bersifat personal dan kontekstual. Zehr (2002) menyebut keadilan restoratif sebagai “a justice that heals,” di mana proses pemidanaan tidak hanya berorientasi pada pelaku, tetapi juga kebutuhan korban dan komunitas. Ini menjadi relevan khususnya dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, di mana nilai-nilai kearifan lokal dan musyawarah masih hidup dan bisa diberdayakan dalam kerangka hukum nasional.
Lebih lanjut, dekriminalisasi harus dipahami sebagai bagian dari politik hukum yang progresif dan responsif terhadap dinamika sosial. Sejumlah negara telah menerapkan strategi ini dengan keberhasilan, misalnya Portugal dalam kasus dekriminalisasi narkotika ringan, atau Belanda dalam pengurangan pidana untuk pelanggaran lalu lintas tertentu. Dalam konteks Indonesia, pendekatan serupa dapat memperkuat efektivitas hukum, menghemat sumber daya negara, dan mendorong budaya hukum yang tidak represif. Namun sebagaimana dikemukakan Lacey (2008), keberhasilan dekriminalisasi sangat bergantung pada konsistensi kebijakan, kesiapan institusi hukum, dan penerimaan masyarakat terhadap paradigma hukum yang lebih rehabilitatif dan manusiawi.
4. Politik Hukum Pidana dalam KUHP 2023: Kompromi antara Nilai Konservatif dan Progresif
Fenomena kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam KUHP 2023 memperlihatkan wajah politik hukum pidana yang kompleks dan kompromistis. Di satu sisi, ada semangat untuk mereformasi sistem peradilan agar lebih modern, efisien, dan manusiawi. Di sisi lain, masih kuatnya tekanan kelompok konservatif moral turut mendorong kriminalisasi atas perilaku yang bernuansa privat atau ekspresi politik.
Menurut Marwan Mas (2011), politik hukum pidana harus dilihat sebagai cerminan dari tarik- menarik antara berbagai nilai dan kepentingan yang hidup dalam masyarakat, termasuk nilai-nilai budaya, agama, HAM, dan politik. KUHP 2023 adalah kompromi antara arus modernisasi hukum dengan keinginan mempertahankan identitas dan ketertiban sosial ala negara berkembang.
Di sinilah pentingnya peran partisipasi publik dan pengawasan sipil dalam menjaga agar hukum pidana tidak dijadikan alat kekuasaan, tetapi benar-benar berfungsi sebagai pelindung hak dan keadilan. Transparansi proses legislasi dan keterlibatan akademisi serta masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan arah politik hukum pidana tetap demokratis.
Kompromi dalam politik hukum pidana Indonesia tercermin dalam pemilihan pasal-pasal KUHP 2023 yang mencoba mengakomodasi nilai universal seperti hak asasi manusia dan prinsip due process of law, namun sekaligus mempertahankan norma lokal yang kental dengan moralitas agama dan adat. Misalnya, masuknya asas restorative justice dan pemidanaan alternatif merupakan kemajuan progresif, namun keberadaan pasal-pasal seperti penghinaan terhadap presiden (Pasal 218) atau kriminalisasi kohabitasi menunjukkan bahwa negara masih memberi ruang pada moralitas kolektif sebagai dasar kriminalisasi. Menurut Lindsey (2023), ini menunjukkan bahwa pembaruan KUHP bukan hanya kodifikasi teknis, melainkan juga medan tarik-menarik politik identitas dalam masyarakat majemuk.
Selain itu, kompromi ini tidak jarang menciptakan ambiguitas dalam implementasi hukum. Aparat penegak hukum sering kali kebingungan dalam menafsirkan pasal-pasal yang berada di antara dua kutub nilai: antara penegakan hukum yang berbasis HAM dan perlindungan moralitas publik. Ketidakkonsistenan dalam menegakkan pasal-pasal tertentu, seperti penghinaan terhadap lembaga negara, dapat menimbulkan kesan hukum yang diskriminatif atau digunakan sebagai alat represi terhadap kebebasan sipil. Hadjon (2019) menekankan bahwa hukum pidana yang ideal bukan hanya taat prosedur, tetapi juga harus memiliki legitimasi substantif yang selaras dengan nilai-nilai konstitusi dan akal publik.
Di sinilah pentingnya evaluasi berkelanjutan terhadap KUHP 2023, khususnya dengan melibatkan aktor masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga pengawasan hukum. Pendekatan partisipatif terhadap hukum pidana akan memastikan bahwa kompromi antara nilai konservatif dan progresif tidak mengorbankan prinsip dasar negara hukum: keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap kebebasan individu. Fenwick dan Phillipson (2007) mengingatkan bahwa dalam negara demokrasi, hukum pidana tidak boleh dibiarkan sebagai “instrumen mayoritarianisme”, tetapi harus dipandu oleh prinsip universal dan uji rasionalitas terhadap setiap norma yang dibentuk.
Penutup
Kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam KUHP 2023 menunjukkan dinamika politik hukum pidana Indonesia yang bergerak antara modernisasi hukum dan konservatisme moral. Kriminalisasi terhadap perilaku privat dan ekspresi politik berpotensi mengancam demokrasi dan HAM, sementara dekriminalisasi terhadap tindak pidana ringan merupakan langkah positif menuju sistem hukum yang efisien dan manusiawi. Oleh karena itu, pembaruan hukum pidana tidak boleh berhenti pada tataran normatif, tetapi harus diiringi dengan evaluasi berkelanjutan, reformasi kelembagaan, dan penguatan budaya hukum yang berkeadaban.
Daftar Pustaka:
- Arief, B. N. (2008). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana.
- Ashworth, A. (1999). Principles of Criminal Law (3rd ed.). Oxford: Oxford University Press.
- Ashworth, A., & Zedner, L. (2010). Preventive Justice. Oxford: Oxford University Press.
Butt, S., & Lindsey, T. (2012). The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis. Oxford:
Hart Publishing.- Christie, N. (2004). A Suitable Amount of Crime. London: Routledge.
- Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (2022). Statistik Pemasyarakatan Tahun 2022. Jakarta: Kemenkumham RI.
Fenwick, H., & Phillipson, G. (2007). Media Freedom under the Human Rights Act. Oxford:
Oxford University Press.Hadjon, P. M. (1995). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
- University Press.
Hadjon, P. M. (2019). Hukum Administrasi dan Politik Hukum Pidana. Surabaya: Lembaga
Penerbitan Unair.- Human Rights Watch. (2023). Indonesia: New Criminal Code Undermines Rights. Retrieved from https://www.hrw.org
- Hoefnagels, G. (1973). The Other Side of Criminology: An Inversion of the Concept of Crime. The Hague: Kluwer.
- Lacey, N. (2008). The Prisoners’ Dilemma: Political Economy and Punishment in Contemporary Democracies. Cambridge: Cambridge University Press.
- Lindsey, T. (2023). Indonesia’s New Criminal Code: Conservative Turn or Authoritarian Regression? Indonesia Law Review, 13(1), 1–24. https://doi.org/10.15742/ilrev.v13n1.1250.
- Marwan Mas. (2011). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Muladi. (2002). Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan
Penerbit UNDIP.- Roitman, K. (2020). Instrumental Criminalization: Law as a Tool for Political Goals. International Journal of Law, Crime and Justice, 62, 100417. https://doi.org/10.1016/j.ijlcj.2020.100417
- Setiyono, B. (2020). Politik Hukum Pidana dalam RKUHP: Antara Moralitas, Demokrasi, dan HAM. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 50(4), 881–902. https://doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2412
- Tim Perumus KUHP. (2023). Penjelasan Umum KUHP Baru. Jakarta: Kemenkumham RI.
Tonry, M. (2011). Punishing Race: A Continuing American Dilemma. New York: Oxford
University Press.- UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- UUD 1945.
- Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Zehr, H. (2002). The Little Book of Restorative Justice. Intercourse, PA: Good Books.
Komentar