Dekolonisasi Hukum Indonesia: Mengapa Kita Masih Terjebak dalam Warisan Kolonial?

Oleh: Ahmad Basri
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan

Indonesia telah merdeka selama lebih dari tujuh dekade. Namun, dalam bidang hukum, jejak kolonialisme masih kental terasa. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hingga baru- baru ini, masih merujuk pada Wetboek van Strafrecht (WvS) peninggalan Belanda tahun 1918. Meski telah digantikan dengan KUHP Nasional pada 2022, substansi dan paradigma hukum kolonial belum sepenuhnya lepas. Pertanyaannya: Mengapa proses dekolonisasi hukum di Indonesia berjalan lamban dan penuh hambatan?

Apa Itu Dekolonisasi Hukum?

Dekolonisasi hukum adalah proses merekonstruksi sistem hukum nasional agar bebas dari dominasi nilai, struktur, dan paradigma hukum kolonial yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal, keadilan sosial, dan prinsip kedaulatan bangsa.

Menurut Boaventura de Sousa Santos (2002), dekolonisasi tidak hanya berarti menghapus hukum asing, tetapi juga “membebaskan cara kita berpikir tentang hukum” dari struktur dominasi Barat.

Warisan Kolonial dalam Sistem Hukum Indonesia 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata

KUHP yang berlaku lebih dari satu abad merupakan peninggalan hukum pidana Belanda. Bahkan KUHPerdata (BW) masih digunakan hingga kini. Kedua kodifikasi ini lahir dari konteks penjajahan, bukan keadilan sosial.

Contoh: Pasal-pasal tentang penghinaan terhadap penguasa atau pasal tentang ketertiban umum lebih melindungi negara daripada rakyat mencerminkan hukum yang menekan, bukan membebaskan.

2. Sistem Peradilan yang Hierarkis dan Elitis

Sistem peradilan Indonesia mengadopsi struktur kolonial yang menempatkan kekuasaan hakim sebagai simbol otoritas negara, bukan pelayan keadilan rakyat. Akses terhadap keadilan masih menjadi hak istimewa, bukan hak dasar.

3. Paradigma Hukum Positivistik

Warisan kolonial menekankan legalisme formal: hukum adalah apa yang tertulis dalam undang- undang, bukan apa yang adil bagi masyarakat. Ini membuat hukum terasa jauh dari nilai-nilai lokal dan agama.

Contoh Kasus: Kasus Rempang dan Tanah Ulayat

Kasus terbaru di Rempang, Batam, memperlihatkan bagaimana hukum tanah yang diwarisi dari konsep kolonial (Hak Menguasai Negara, HGU, HGB, dsb.) mengabaikan hak-hak adat dan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya. Alih-alih melindungi masyarakat adat, hukum justru menjadi alat legitimasi bagi kepentingan investasi yang eksploitatif.

Sebagaimana disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno, jika hukum hanya melayani kekuasaan dan modal, maka hukum telah kehilangan jiwa etiknya.

Mengapa Kita Masih Terjebak? 

1. Ketergantungan Akademik pada Konsep Barat

Pendidikan hukum di Indonesia masih mendewakan pemikiran Barat, dari Hans Kelsen sampai Montesquieu, tanpa memberi ruang bagi filsafat hukum lokal atau hukum adat.

2. Politik Hukum yang Tidak Emansipatoris

Politik hukum lebih sibuk menyesuaikan hukum dengan kepentingan kekuasaan, bukan membangun hukum yang berpihak pada rakyat dan keadilan substantif. 3. Minimnya Keberanian untuk Melakukan Rekonstruksi

Perubahan hukum sering hanya bersifat kosmetik. Padahal dekolonisasi membutuhkan keberanian untuk mengganti paradigma lama dari hukum sebagai alat kontrol menjadi hukum sebagai alat pembebasan.

Solusi: Jalan Menuju Dekolonisasi Hukum 1. Revitalisasi Hukum Adat dan Nilai Lokal

Mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum adat yang hidup di tengah masyarakat, seperti musyawarah, restorative justice, dan nilai-nilai gotong royong.

2. Reformasi Pendidikan Hukum

Pendidikan hukum harus mengembangkan epistemologi baru yang tidak hanya mengandalkan tradisi Barat, tetapi juga membuka ruang bagi epistemologi lokal, hukum Islam, dan nilai-nilai keadilan profetik.

3. Konsistensi dalam Politik Hukum Nasional

Pemerintah harus berani menyusun kebijakan hukum yang menjadikan keadilan sosial sebagai prioritas, bukan sekadar kepastian hukum yang elitis.

Penutup

Dekolonisasi hukum bukan sekadar penggantian istilah atau kodifikasi baru, tetapi perjuangan ideologis dan kultural untuk membebaskan hukum dari mentalitas penjajahan. Jika tidak, hukum akan terus menjadi alat kekuasaan, bukan sarana keadilan.

Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukan hanya bebas dari Belanda, tapi juga bebas dari cara berpikir Belanda yang menjajah.” Maka dekolonisasi hukum adalah langkah menuju kedaulatan sejati.

Referensi

  • Boaventura de Sousa Santos. Toward a New Legal Common Sense. London: Butterworths, 2002.
  • Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
  • Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.

    Gramedia, 1997.
  • Jimly Asshiddiqie. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika, 2010.
  • Soetandyo Wignjosoebroto. Hukum dalam Masyarakat. Elsam, 2008.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepastian Hukum: Pilar Stabilitas dalam Negara Hukum

Ketika Hukum Dibajak Kepentingan: Menelusuri Jejak Intervensi Politik dalam Penegakan Hukum