Penegakan Hukum yang Salah Arah: Dampak Ketidakpahaman Aparat terhadap Nilai-Nilai Hukum

Oleh Ahmad Basri 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang


Pendahuluan

Penegakan hukum adalah fondasi utama negara hukum (rechtsstaat). Dalam sistem ini, aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab besar untuk tidak sekadar menjalankan prosedur, tetapi juga menjunjung nilai-nilai luhur yang melandasi hukum itu sendiri, seperti keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Namun, dalam praktiknya, ketidakpahaman terhadap nilai-nilai tersebut telah menjadikan penegakan hukum kerap salah arah, mengarah pada formalisme yang kering dan mengabaikan substansi moral serta sosial hukum.

Ketidakpahaman Aparat: Akar dari Masalah Sistemik

Banyak aparat hukum masih memahami hukum sebatas teks normatif atau perintah undang- undang, tanpa menelaah dimensi filosofis dan sosiologis dari hukum tersebut. Hal ini menyebabkan proses penegakan hukum lebih berorientasi pada prosedur, bukan pada tujuan dari hukum itu sendiri.

Menurut Satjipto Rahardjo, “hukum bukanlah semata-mata kumpulan norma, melainkan merupakan suatu proses untuk mewujudkan keadilan.” Ketika aparat gagal memahami semangat di balik aturan, maka hukum kehilangan arah, menjelma menjadi alat kuasa, bukan instrumen keadilan.

Menabrak Nilai Keadilan

Nilai keadilan sering kali dikorbankan demi formalitas hukum. Misalnya, korban kekerasan domestik tidak mendapatkan perlindungan memadai karena aparat terjebak pada pembuktian formil yang kaku. Padahal, asas lex iniusta non est lex (hukum yang tidak adil bukanlah hukum) mengingatkan bahwa hukum harus senantiasa diuji dari perspektif keadilan.

John Rawls dalam A Theory of Justice menekankan bahwa keadilan adalah keutamaan pertama dalam sistem sosial. Ketika aparat tak memahami hal ini, maka hukum menjadi alat ketidakadilan yang dilegalkan.

Mengabaikan Nilai Kemanfaatan

Hukum yang baik harus memberi manfaat (utilitas) bagi sebanyak mungkin orang, sebagaimana dikemukakan Jeremy Bentham. Namun, akibat ketidakpahaman aparat, banyak kebijakan hukum bersifat represif dan tidak solutif. Contohnya, penahanan dalam proses peradilan atas pelaku pencurian kecil, sementara korupsi besar justru ditangani dengan lunak.

Nilai kemanfaatan menghendaki bahwa hukum harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Ketika aparat gagal membaca kebutuhan itu, maka hukum menjadi tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Merusak Kepastian Hukum

Kepastian hukum mengharuskan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Ketika aparat membuat penafsiran yang bias atau bahkan bertentangan antar lembaga penegak hukum, masyarakat kehilangan kepercayaan. Sebagaimana Hans Kelsen menyatakan dalam Pure Theory of Law, norma hukum harus dipahami secara logis dan sistematis. Tanpa pemahaman ini, ketidakpastian akan menciptakan kekacauan hukum.

Solusi: Membangun Pemahaman Nilai Hukum secara Menyeluruh

Agar penegakan hukum tidak terus salah arah, maka:

  1. Pendidikan dan pelatihan aparat harus menekankan pemahaman nilai hukum, bukan hanya aspek normatif.
  2. Etika profesi harus ditegakkan dengan ketat dan dipantau secara independen.
  3. Dialog antara akademisi dan aparat hukum perlu diperkuat dalam setiap penyusunan maupun implementasi kebijakan hukum.
  4. Peran masyarakat sipil sebagai pengawas moral dan sosial harus difasilitasi dan tidak dimusuhi.

Penutup

Ketika aparat penegak hukum kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai hukum, maka hukum menjauh dari cita-citanya. Penegakan hukum yang salah arah bukan hanya persoalan teknis, tapi ancaman serius terhadap integritas negara hukum itu sendiri. Reformasi pemahaman aparat terhadap esensi hukum adalah agenda mendesak yang tidak boleh ditunda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepastian Hukum: Pilar Stabilitas dalam Negara Hukum

Dekolonisasi Hukum Indonesia: Mengapa Kita Masih Terjebak dalam Warisan Kolonial?

Ketika Hukum Dibajak Kepentingan: Menelusuri Jejak Intervensi Politik dalam Penegakan Hukum