Naiknya Potensi Konflik Sosial: Ketika Hukum Tidak Dipercaya, Masyarakat Memilih Jalur Kekerasan atau Main Hakim Sendiri

Oleh Basri, S.H.,M.Hum 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang


Pendahuluan

Negara hukum semestinya menjamin rasa keadilan, perlindungan hak, dan penyelesaian sengketa melalui prosedur yang sah dan damai. Namun, ketika sistem hukum tidak dipercaya karena lamban, tidak adil, atau bahkan korup, masyarakat cenderung mencari jalur alternatif, termasuk jalan kekerasan atau main hakim sendiri, mengerahkan massa sebagai bentuk penekanan psikologis terhadap proses hukum yang berlangsung. Fenomena ini bukan hanya cerminan frustrasi kolektif, melainkan pertanda serius akan erosi legitimasi hukum dalam masyarakat.

Hilangnya Kepercayaan terhadap Hukum

Kepercayaan publik adalah fondasi yang menopang keberlangsungan sistem hukum. Ketika aparat penegak hukum kerap tidak netral, curang, tidak jujur, merekayasa kasus, dan ketika kasus hukum diselesaikan bukan berdasarkan kebenaran tetapi karena uang atau kekuasaan, maka rasa keadilan masyarakat terganggu.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2002), legitimasi hukum tidak hanya tergantung pada keberadaan aturan formal, tetapi juga pada persepsi keadilan dan kesetaraan di mata masyarakat. Ketika persepsi itu hilang, hukum tidak lagi dipandang sebagai jalan keluar.

Fenomena Vigilantisme dan Kekerasan Massa

Di Indonesia, berbagai kasus main hakim sendiri kerap terjadi. Mulai dari pembakaran tersangka pencurian, pemukulan terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas, hingga pengusiran warga yang dianggap "bermasalah" tanpa proses hukum. Menurut laporan LBH Jakarta (2023), kasus-kasus kekerasan berbasis rasa frustrasi terhadap hukum mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Vigilantisme atau perbuatan main hakim sendiri (dalam bahasa hukum disebut eigenrichting) seringkali menjadi pilihan masyarakat ketika:

  • Proses hukum dianggap terlalu lama.

  • Aparat tidak hadir atau tidak sigap.

  • Putusan hukum dianggap tidak adil atau memihak.

Ketidakadilan sebagai Pemicu Konflik Sosial

Konflik sosial tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia muncul dari ketimpangan, diskriminasi, dan ketidakadilan yang dibiarkan. Ketika hukum tidak mampu meredam atau menyelesaikan konflik secara adil, maka masyarakat akan merasa perlu untuk menyelesaikannya sendiri.

Menurut Johan Galtung (1990), konflik sosial adalah hasil dari ketimpangan struktural yang dibiarkan berlangsung terus-menerus. Jika hukum menjadi bagian dari struktur yang timpang itu, maka ia justru memperparah, bukan meredakan, konflik.

Dampak Sosial dan Politik

Naiknya potensi konflik sosial karena krisis kepercayaan terhadap hukum memiliki beberapa implikasi serius:

  • Disintegrasi Sosial: Ketika hukum tidak dipercaya, norma sosial terpecah dan masyarakat cenderung terpolarisasi.
  • Kekacauan dan Instabilitas: Ketiadaan penyelesaian legal membuka ruang anarkisme dan chaos.
  • Munculnya Otoritarianisme Alternatif: Kelompok-kelompok tertentu bisa tampil sebagai "penegak keadilan" versi mereka sendiri, yang justru berbahaya bagi negara hukum.

Solusi: Mengembalikan Kepercayaan terhadap Hukum

  1. Reformasi Hukum dan Kelembagaan: Transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme harus menjadi dasar semua lembaga hukum.
  2. Pendidikan Hukum Publik: Masyarakat perlu diedukasi tentang proses hukum dan pentingnya penyelesaian konflik secara damai.
  3. Akses Keadilan yang Merata: Bantuan hukum harus diperluas, terutama bagi kelompok rentan.
  4. Penindakan Tegas Terhadap Aparat Nakal: Hukum harus ditegakkan terhadap siapa pun, termasuk terhadap penegak hukum itu sendiri.

Penutup

Hukum seharusnya menjadi jalan keluar dari konflik, bukan pemicu konflik baru. Ketika keadilan tidak bisa ditemukan dalam sistem hukum, masyarakat akan mencarinya di luar system, seringkali dengan cara yang destruktif. Untuk itu, pembenahan hukum bukan sekadar agenda teknis, melainkan agenda moral dan kemanusiaan demi menjaga kohesi sosial bangsa.

Referensi

  • Soetandyo Wignjosoebroto. (2002). Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.
  • Johan Galtung. (1990). Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research.
  • Laporan LBH Jakarta, Tren Kekerasan Berbasis Ketidakpercayaan Hukum, 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepastian Hukum: Pilar Stabilitas dalam Negara Hukum

Dekriminalisasi dan Kriminalisasi Baru dalam KUHP 2023: Kajian Politik Hukum Pidana

Hukum dalam Krisis Etika: Mengapa Banyak Penegak Hukum Tak Lagi Jadi Penjaga Keadilan?