Ketika Penegak Hukum Melanggar Hukum: Krisis Legitimasi di Negeri Hukum

Oleh Basri, S.H.,M.Hum 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan

Negara hukum dibangun atas prinsip supremasi hukum: hukum berada di atas semua, termasuk penguasa dan penegaknya. Namun bagaimana jika justru penegak hukum itu sendiri yang melanggar hukum? Inilah paradoks yang sedang dihadapi Indonesia, sebuah krisis yang merongrong legitimasi hukum dari dalam.

Pelanggaran hukum oleh aparat bukan sekadar pelanggaran personal, melainkan bentuk kerusakan sistemik yang berdampak langsung pada kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri. Ketika masyarakat tidak lagi yakin bahwa hukum ditegakkan secara adil dan konsisten, maka negara hukum kehilangan rohnya.

Kewenangan yang Disalahgunakan

Aparat penegak hukum: polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lainnya, memiliki otoritas berdasarkan hukum. Namun, ketika kewenangan itu berubah menjadi alat untuk menekan, memperdagangkan keadilan, atau melindungi kepentingan tertentu, maka hukum berubah dari instrumen keadilan menjadi alat kekuasaan.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2006), negara hukum (rechtsstaat) mensyaratkan bahwa segala tindakan kekuasaan harus tunduk pada hukum. Ketika prinsip ini dilanggar oleh aktor-aktor kunci penegak hukum, maka krisis kepercayaan tidak terelakkan.

Contoh-Contoh Empiris

Indonesia memiliki catatan panjang tentang aparat yang melanggar hukum. Mulai dari kasus penyiksaan dalam penangkapan, kriminalisasi terhadap pembela HAM, hingga praktik mafia peradilan. Banyak pula kasus aparat yang terlibat korupsi, tetapi proses hukumnya mandek atau direkayasa.

Laporan Komisi Yudisial dan Komnas HAM dalam beberapa tahun terakhir menyoroti tingginya pengaduan masyarakat terkait perilaku tidak etis, penyalahgunaan wewenang, bahkan pelanggaran hukum oleh aparat.

Krisis Legitimasi

Apa dampaknya ketika pelanggaran ini terus terjadi?

  1. Menurunnya Kepercayaan Publik: Masyarakat tidak lagi percaya bahwa hukum bisa menjadi tempat berlindung.
  2. Naiknya Potensi Konflik Sosial: Ketika hukum tidak dipercaya, masyarakat memilih jalur kekerasan atau main hakim sendiri.
  3. Lemahnya Supremasi Hukum: Hukum menjadi selektif, hanya berlaku untuk yang lemah atau tidak memiliki kuasa.
  4. Erosi Etika Profesi: Aparat yang melihat pelanggaran tapi diam, akhirnya menjadi bagian dari sistem yang rusak.

Mencari Jalan Keluar

Menghadapi krisis ini, beberapa langkah solutif dapat diambil:

  1. Reformasi Lembaga Penegak Hukum: Evaluasi menyeluruh dan restrukturisasi terhadap lembaga hukum yang tidak akuntabel.
  2. Pendidikan Etika Hukum: Penekanan pada integritas, moralitas, dan tanggung jawab profesi sejak pendidikan hukum.
  3. Pengawasan Eksternal yang Kuat: Peran lembaga seperti Kompolnas, Komnas HAM, dan masyarakat sipil harus diperkuat.
  4. Transparansi Proses Hukum: Masyarakat harus bisa mengakses dan memantau proses hukum, terutama dalam kasus aparat.

Penutup

Negara hukum tidak cukup hanya dengan konstitusi dan undang-undang. Ia hidup karena adanya kepercayaan masyarakat bahwa hukum ditegakkan dengan adil. Ketika para penegak hukum sendiri melanggar hukum, maka yang rusak bukan hanya aturan, tapi kepercayaan publik yang menopang sistem itu.

Oleh karena itu, penegakan hukum bukan hanya soal teknis dan prosedural, tetapi tentang moral dan integritas. Tanpa itu, hukum kehilangan legitimasi dan negara hukum menjadi ilusi.

Referensi:

  • Jimly Asshiddiqie. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.
  • Komnas HAM RI. Laporan Tahunan.
  • Komisi Yudisial RI. Laporan Kinerja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepastian Hukum: Pilar Stabilitas dalam Negara Hukum

Dekolonisasi Hukum Indonesia: Mengapa Kita Masih Terjebak dalam Warisan Kolonial?

Ketika Hukum Dibajak Kepentingan: Menelusuri Jejak Intervensi Politik dalam Penegakan Hukum