Hukum yang Bermanfaat: Antara Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan Sosial
Oleh: Ahmad Basri
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang
Pendahuluan
Salah satu pertanyaan mendasar dalam ilmu hukum adalah: Untuk apa hukum itu dibuat? Apakah semata-mata demi kepastian hukum? Ataukah untuk menegakkan keadilan? Atau, seharusnya hukum berfungsi memberikan manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat?
Dalam praktiknya, hukum yang tidak bermanfaat akan menjadi beban. Ia mungkin sah secara normatif, tetapi gagal menjawab problem kemanusiaan. Artikel ini mengajak kita menelaah kembali hakikat “hukum yang bermanfaat”, merujuk pada teori para ahli dan realitas sosial kita.
Trilogi Tujuan Hukum: Kepastian, Keadilan, Kemanfaatan
Gustav Radbruch, filsuf hukum asal Jerman, merumuskan tiga tujuan hukum yang saling berkelindan:
- Kepastian hukum (Rechtssicherheit)
- Keadilan (Gerechtigkeit)
- Kemanfaatan (Zweckmäßigkeit atau Utility)
Dari ketiganya, kemabnfaatan sering kali dianggap paling fleksibel namun juga paling penting dalam konteks masyarakat yang dinamis. Hukum tidak hanya harus adil dan pasti, tetapi juga bermanfaat, yaitu membawa kebaikan, mencegah mudarat, dan menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Hukum dalam Perspektif Utilitarian
Jeremy Bentham, tokoh utilitarianisme, menyatakan bahwa hukum harus menjamin "the greatest happiness of the greatest number", kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Maka, suatu aturan hukum harus:
- Mencegah penderitaan.
- Memfasilitasi kesejahteraan umum.
- Menyederhanakan beban prosedural.
- Tidak mempersulit akses terhadap keadilan.
Artinya, hukum yang bermanfaat tidak berhenti pada tataran teks, tetapi mampu menyentuh kehidupan nyata masyarakat.
- Agama (din)
- Jiwa (nafs)
- Akal (aql)
- Keturunan (nasl)
- Harta (mal)
Sebuah ketentuan hukum, jika tidak menghadirkan kemaslahatan bagi manusia, atau malah menimbulkan kerusakan (mafsadat), maka layak dikaji ulang. Ini menunjukkan bahwa kebermanfaatan adalah ukuran penting dari legitimasi hukum, baik secara moral maupun spiritual.
Contoh Hukum yang Tidak (atau Kurang) Bermanfaat
Beberapa aturan di Indonesia acap kali menuai kritik karena dianggap:
- Terlalu birokratis, sehingga menyulitkan masyarakat miskin untuk mendapatkan hak hukum.
- Tidak sensitif terhadap keadilan sosial, misalnya dalam UU ITE yang multitafsir dan berisiko membungkam kebebasan berekspresi.
- Tidak memberikan perlindungan memadai bagi kelompok rentan, seperti perempuan, anak, dan masyarakat adat.
Padahal hukum yang baik seharusnya tidak hanya mengatur, tetapi juga melindungi dan memberdayakan.
Ciri-Ciri Hukum yang Bermanfaat
Untuk menjadi hukum yang bermanfaat, setidaknya sebuah regulasi atau norma hukum harus memenuhi syarat:
- Responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
- Mudah dipahami dan dilaksanakan.
- Tidak membebani atau menyulitkan rakyat.
- Berorientasi pada kemaslahatan dan perlindungan hak asasi manusia.
- Fleksibel dalam merespons dinamika sosial.
Tantangan dalam Mewujudkan Hukum yang Bermanfaat:
Dominasi pendekatan positivistik – hukum hanya dinilai dari segi keabsahan formal, bukan dari akibat sosialnya.
- Minim partisipasi publik dalam perumusan undang-undang.
- Kepentingan politik dan ekonomi kerap membajak arah pembuatan regulasi.
- Kurangnya evaluasi efektivitas hukum setelah diberlakukan.
Rekomendasi: Menata Hukum yang Lebih Bermanfaat
- Reformulasi hukum berbasis keadilan sosial dan kemaslahatan.
- Peningkatan literasi hukum masyarakat agar hukum tidak hanya dimiliki elite.
- Penguatan kajian dampak sosial sebelum mengesahkan regulasi.
- Penyederhanaan prosedur hukum agar tidak menyulitkan rakyat.
Penutup
Hukum yang bermanfaat bukan berarti hukum yang populis atau kompromistis terhadap keadilan. Sebaliknya, ia adalah hukum yang mewujudkan tatanan sosial yang lebih manusiawi, adil, dan sejahtera. Di tengah kompleksitas kehidupan modern, kita tidak bisa hanya berpegang pada kepastian hukum semata. Manfaat hukum bagi rakyat harus menjadi ukuran utama keberhasilannya.
Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih:
"Tasarruful imam ‘ala ra’iyyah manuthun bil maslahah"
(Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan)
Komentar