Ketika Hukum Dibajak Kepentingan: Menelusuri Jejak Intervensi Politik dalam Penegakan Hukum

Oleh: Ahmad Basri
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan

Dalam negara hukum (rechtstaat), hukum seharusnya menjadi panglima tertinggi yang mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara. Namun, realitas di banyak negara, termasuk Indonesia, menunjukkan fenomena sebaliknya. Penegakan hukum sering kali tidak steril dari intervensi politik. Hukum dijalankan bukan atas dasar keadilan, melainkan kepentingan kekuasaan. Akibatnya, hukum menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan pelindung hak rakyat.

Hukum dan Kekuasaan: Sebuah Ketegangan Abadi

Konsep klasik Montesquieu mengenai separation of powers memberikan landasan penting bagi independensi kekuasaan yudikatif. Namun, dalam praktiknya, pemisahan tersebut kerap kabur. Intervensi kekuasaan eksekutif terhadap aparat penegak hukum merupakan indikasi kuat dari lemahnya independensi hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum tidak berada dalam ruang hampa, melainkan selalu terkait dengan dinamika sosial dan politik. Dalam kerangka ini, politik hukum dapat dimaknai sebagai arah dan strategi yang digunakan oleh kekuasaan dalam membentuk dan menerapkan hukum. Masalah muncul ketika politik hukum yang dijalankan lebih condong pada pelanggengan kekuasaan dibanding pada pembaruan sistem hukum yang adil.

Fenomena Intervensi Politik dalam Penegakan Hukum 1. Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Selektif

Lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian, acap kali dianggap menggunakan instrumen hukum untuk kepentingan elite politik tertentu. Contohnya adalah praktik kriminalisasi terhadap oposisi, dan pengabaian terhadap pelanggaran hukum oleh kelompok pro- pemerintah.

Seperti dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie (2013), penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan (instrumentalisasi hukum) mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap proses hukum. Hal ini memperkuat sinisme bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

2. Campur Tangan dalam Penunjukan Pejabat Yudisial

Pemilihan hakim agung, pimpinan KPK, atau pejabat strategis di lembaga penegak hukum sering kali tidak bebas dari muatan politik. Proses seleksi yang semestinya transparan justru dikontrol oleh mekanisme kekuasaan yang menyeleksi berdasarkan loyalitas, bukan integritas.

Dampak Intervensi Politik terhadap Hukum

a. Krisis Legitimasi Hukum

Ketika masyarakat melihat bahwa hukum tidak lagi ditegakkan secara adil, maka yang lahir adalah krisis legitimasi. Legitimasi hukum bukan hanya bersumber dari legalitas, tetapi juga dari keadilan substantif (Lon L. Fuller, The Morality of Law, 1964).

b. Erosi Kepercayaan Publik

Penegakan hukum yang sarat kepentingan politik menciptakan jarak antara hukum dan rakyat. Rakyat tidak percaya bahwa hukum mampu menjadi alat perlindungan. Di titik inilah terjadi delegitimasi hukum sebagai norma bersama.

c. Potensi Disintegrasi Sosial

Jika hukum tidak lagi dipercaya, masyarakat akan mencari cara-cara ekstra-legal untuk memperoleh keadilan. Fenomena main hakim sendiri, pengadilan rakyat, atau konflik horizontal bisa terjadi akibat tumpulnya sistem hukum formal.

Mencari Jalan Keluar: Menuju Hukum yang Independen

1. Reformasi Politik Hukum

Negara harus memperkuat check and balance antar-lembaga negara dan menjamin independensi lembaga penegak hukum. Reformasi sistem hukum harus dilakukan secara sistemik, bukan hanya tambal sulam.

2. Transparansi dan Partisipasi Publik

Setiap proses hukum harus terbuka untuk publik dan melibatkan masyarakat sipil. Proses seleksi pejabat hukum harus dilakukan dengan sistem merit, bukan loyalitas politik.

3. Penguatan Etika Profesi Hukum

Penegak hukum harus berani menolak intervensi, menjaga integritas, dan menjalankan etika profesi. Sebagaimana ditegaskan Mahfud MD (2021), kekuasaan yang besar tanpa etika hanya akan menghasilkan kekacauan.

Penutup

Penegakan hukum yang bebas dari intervensi politik adalah syarat mutlak bagi terwujudnya negara hukum yang sejati. Jika hukum terus dijadikan alat kekuasaan, maka keadilan akan menjadi ilusi, dan hukum tidak lagi menjadi penjaga nilai-nilai moral masyarakat. Inilah saatnya kita kembali ke roh konstitusi: kekuasaan tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.

Referensi

  • Satjipto Rahardjo. (2006). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Kompas.
  • Jimly Asshiddiqie. (2013). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika.
  • Mahfud MD. (2021). Politik Hukum di Indonesia. LP3ES.
  • Lon L. Fuller. (1964). The Morality of Law. Yale University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepastian Hukum: Pilar Stabilitas dalam Negara Hukum

Dekolonisasi Hukum Indonesia: Mengapa Kita Masih Terjebak dalam Warisan Kolonial?