Tujuan Penyelidikan dan Penyidikan: Menyeimbangkan Kebenaran Materiil dan Perlindungan HAM
Pendahuluan
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, penyelidikan dan penyidikan menempati posisi awal yang krusial dalam proses penegakan hukum. Keduanya bukan semata-mata proses administratif atau teknis, melainkan memiliki tujuan mendasar: menemukan kebenaran materiil atas suatu peristiwa yang diduga tindak pidana, sekaligus memastikan bahwa hak asasi manusia (HAM) para pihak tetap dihormati. Namun, pada praktiknya, pencarian kebenaran materiil kerap berbenturan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM, terutama pada tahap-tahap awal penegakan hukum.
Konsep Kebenaran Materiil dalam Penyelidikan dan Penyidikan
Kebenaran materiil adalah kebenaran yang bersifat substantif, yakni benar secara faktual dan objektif. Dalam proses hukum, tujuan ini berarti aparat penegak hukum harus menggali, menemukan, dan membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. KUHAP sebagai hukum acara pidana Indonesia menekankan pentingnya penyidik untuk “membuat terang” suatu perkara (Pasal 1 angka 2 dan 5 KUHAP).
Menurut M. Yahya Harahap, kebenaran materiil merupakan penopang utama sistem peradilan pidana karena berfungsi untuk menjamin bahwa hanya mereka yang benar-benar bersalah yang dapat dihukum (Harahap, 2005). Tanpa pencapaian kebenaran materiil, putusan pengadilan bisa meleset dari substansi keadilan.
Perlindungan HAM dalam Proses Awal Penegakan Hukum
Pada saat yang sama, proses penyelidikan dan penyidikan harus tunduk pada prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan pribadi, perlakuan manusiawi, praduga tak bersalah, dan hak atas bantuan hukum. Ini ditegaskan dalam Pasal 28D dan 28G UUD 1945 serta Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 juga mengharuskan negara menjamin hak-hak tersebut, termasuk dalam proses hukum pidana.
Sayangnya, dalam praktik, aparat kerap melanggar prinsip ini, antara lain:
- Penangkapan tanpa surat perintah.
- Penahanan sewenang-wenang.
- Penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan.
- Tidak diberi akses terhadap pengacara di tahap awal pemeriksaan.
Laporan KontraS (2023) dan Komnas HAM menunjukkan masih banyak terjadi pelanggaran HAM oleh aparat dalam proses penyelidikan dan penyidikan, terutama pada kasus-kasus politis dan pidana umum.
Ketegangan antara Kebenaran Materiil dan HAM
Masalah klasik dalam hukum pidana adalah bagaimana menyeimbangkan pencarian kebenaran materiil dengan perlindungan HAM. Dalam pendekatan legal formal, pencarian kebenaran bisa menjadi alat legitimasi kekerasan. Sebaliknya, pendekatan yang terlalu lunak terhadap HAM bisa membuat penyidikan tidak efektif.
Satjipto Rahardjo menekankan pentingnya pendekatan progresif dalam hukum pidana, yang tidak hanya berorientasi pada penghukuman tetapi juga pada pemulihan keadilan yang manusiawi (Rahardjo, 2008). Penegakan hukum harus dilandasi nilai-nilai etik dan nurani, bukan sekadar prosedur.
Implementasi di Indonesia: Kelemahan dan Peluang
Beberapa fenomena berikut mencerminkan implementasi yang masih jauh dari harapan:
- Kasus kriminalisasi aktivis dan jurnalis, di mana proses penyelidikan dipaksakan demi pembenaran kekuasaan.
- Kekerasan aparat saat interogasi, yang mengarah pada pelanggaran HAM serius.
- Minimnya akuntabilitas internal dan eksternal, di mana pelanggaran dalam penyidikan jarang ditindaklanjuti.
Namun terdapat pula beberapa praktik baik, seperti penggunaan CCTV dan rekaman digital dalam pemeriksaan oleh KPK atau unit-unit tertentu di Polri, serta bantuan hukum struktural oleh LBH.
Rekomendasi: Jalan Menuju Keseimbangan
- Reformulasi KUHAP agar lebih tegas mengatur batas kewenangan aparat, prosedur perlindungan tersangka, serta jaminan akuntabilitas proses penyelidikan.
- Penguatan peran pengacara dan pendamping hukum pada tahap awal pemeriksaan.
- Pendidikan HAM bagi aparat penegak hukum, termasuk penyidik, jaksa, dan hakim.
Pengawasan publik dan partisipasi masyarakat sipil, termasuk media, LSM, dan
lembaga advokasi hukum.
Penutup
Menyeimbangkan kebenaran materiil dengan perlindungan HAM bukan pilihan, tetapi keharusan dalam sistem hukum yang demokratis dan berkeadilan. Penyelidikan dan penyidikan yang mengabaikan HAM akan kehilangan legitimasi, sementara perlindungan HAM yang tidak disertai efektivitas penyidikan bisa merusak keadilan. Maka, sistem hukum pidana Indonesia harus bergerak ke arah penegakan hukum yang efektif, namun tetap manusiawi.
Daftar Pustaka
- Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2005.
- Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Kompas, 2008.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
- UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
- Laporan Komnas HAM 2022-2023.
- KontraS. Laporan Situasi HAM di Indonesia, 2023.
Komentar