Politik Hukum yang Salah Arah: Ketika Undang-Undang Lebih Menguntungkan Kekuasaan Daripada Rakyat
Pendahuluan
Politik hukum seharusnya menjadi panduan arah bagi pembentukan hukum nasional yang berpihak kepada keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan rakyat. Namun dalam praktiknya, politik hukum di Indonesia seringkali melenceng dari semangat konstitusi. Banyak produk legislasi justru terindikasi lebih berpihak kepada kepentingan kekuasaan dan oligarki ekonomi ketimbang memenuhi aspirasi rakyat.
Pertanyaannya: mengapa politik hukum kita sering kali salah arah, dan siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh undang-undang yang dihasilkan?
Politik Hukum: Definisi dan Fungsi Ideal
Menurut Mahfud MD, politik hukum adalah “legal policy” atau arah kebijakan yang diambil negara melalui lembaga yang berwenang dalam pembentukan hukum untuk mencapai tujuan bernegara. Dalam konteks negara demokratis, politik hukum seharusnya mencerminkan:
- Keadilan substantif
- Perlindungan terhadap hak asasi manusia
- Penegakan supremasi konstitusi
Namun kenyataannya, idealisme ini kerap ditinggalkan dalam proses legislasi.
Indikasi Salah Arah dalam Politik Hukum
1. UU Cipta Kerja (Omnibus Law)
Contoh paling nyata adalah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020). Alih-alih memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh serta menjaga kelestarian lingkungan, undang-undang ini justru:
- Melonggarkan aturan ketenagakerjaan yang merugikan buruh (PHK dipermudah, upah minimum tidak wajib naik).
- Melemahkan sanksi pidana lingkungan hidup.
- Disusun tanpa partisipasi publik yang bermakna (inklusivitas rendah).
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 bahkan menyatakan UU ini inkonstitusional bersyarat karena proses pembentukannya cacat prosedural. Namun, pemerintah tetap melanjutkan pemberlakuannya melalui “perbaikan teknis”.
2. Revisi UU KPK (2019)
Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No. 19 Tahun 2019) mengubah status KPK dari lembaga independen menjadi bagian dari eksekutif. Hal ini melemahkan:
- Independensi penyidikan
- Kewenangan penindakan
- Integritas seleksi pegawai (TWK kontroversial)
Para pakar seperti Busyro Muqoddas dan Laode M. Syarif menyebut revisi ini sebagai “pembunuhan bertahap terhadap lembaga antikorupsi”.
Pola: Legislasi yang Melayani Kekuasaan
Fenomena ini memperlihatkan pola legislasi yang berorientasi pada:
- Kepentingan elite politik dan oligarki ekonomi
- Penyelewengan prinsip kedaulatan rakyat
- Pengesampingan hak-hak konstitusional warga
Dalam istilah Franz Magnis-Suseno, hukum yang dibentuk tanpa keberpihakan pada yang lemah adalah hukum yang kehilangan legitimasi etik.
Dampak Politik Hukum yang Salah Arah
- Krisis Kepercayaan Publik. Survei LSI dan Indikator menunjukkan kepercayaan publik terhadap DPR dan proses legislasi terus menurun.
- Pengabaian Prinsip Negara Hukum. Salah arah politik hukum melanggar asas negara hukum (rechtstaat) yang mengharuskan semua tindakan kekuasaan dibatasi oleh hukum yang adil.
- Meningkatnya Potensi Konflik Sosial. Ketidakpuasan terhadap hukum yang tidak adil melahirkan aksi-aksi jalanan, mogok nasional, hingga judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Solusi: Menyusun Ulang Arah Politik Hukum
- Partisipasi Publik yang Substantif. Undang-undang harus dibentuk melalui proses deliberatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan, terutama kelompok rentan dan masyarakat sipil.
- Reformasi Legislasi yang Transparan dan Akuntabel. Setiap rancangan undang- undang wajib terbuka sejak awal kepada publik dan didasarkan pada kajian ilmiah serta naskah akademik yang objektif.
- PemusatanpadaTujuanKonstitusional.Undang-undangharusmenjadiperpanjangan dari cita-cita pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Penutup
Politik hukum seharusnya menjadi jembatan antara hukum dan keadilan. Ketika politik hukum diselewengkan untuk melayani kepentingan segelintir elite, maka hukum kehilangan fungsinya sebagai pelindung rakyat. Saatnya kita bersuara: bahwa hukum yang tidak berpihak pada keadilan adalah hukum yang perlu ditinjau ulang.
Seperti kata Gustav Radbruch, “hukum yang sangat tidak adil bukanlah hukum.”
Referensi
- Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Pers, 2009.
- Franz Magnis-Suseno. Etika Sosial: Dasar dan Prinsip-Prinsip. Kanisius, 2001.
- Laode M. Syarif & Bivitri Susanti, Kajian Kritis Revisi UU KPK, PSHK, 2019.
- Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
- Survei LSI dan Indikator Politik Indonesia (2020–2023).
- Gustav Radbruch, Gesetzliches Unrecht und übergesetzliches Recht, 1946.
Komentar