Makna Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Penegakan Hukum
Pendahuluan
Dalam negara hukum yang demokratis, asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) merupakan pilar fundamental dalam sistem peradilan pidana. Asas ini menjamin bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan diadili atas suatu dugaan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun, dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, makna luhur dari asas ini seringkali mengalami deviasi. Proses penangkapan yang eksesif, eksposur media yang menghakimi, hingga pernyataan aparat penegak hukum yang tendensius sering kali merusak esensi dari asas ini. Maka penting dilakukan kajian tajam dan reflektif atas kedudukan serta implementasi asas praduga tidak bersalah dalam sistem hukum kita.
Landasan Yuridis Asas Praduga Tidak Bersalah
Secara konstitusional dan normatif, asas ini telah diakui dan dijamin:
-
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
-
Pasal 14 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan:
“Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law.”
-
KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) secara implisit menegaskan bahwa hak-hak tersangka dan terdakwa wajib dilindungi, termasuk hak untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum dibuktikan melalui proses peradilan.
Esensi Filosofis: Menjaga Martabat Manusia
Praduga tidak bersalah adalah manifestasi dari penghormatan terhadap martabat manusia dan prinsip human dignity. Seperti dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan Cesare Beccaria, sistem peradilan pidana seharusnya menghindari penyiksaan dan penghukuman sebelum pembuktian secara sah (Beccaria, On Crimes and Punishments, 1764). Gagasan ini kemudian menjadi fondasi dalam pemikiran hukum modern bahwa hak asasi harus dilindungi sejak awal proses hukum, bahkan terhadap tersangka pelaku kejahatan.
Pelanggaran Praduga Tidak Bersalah di Indonesia: Refleksi Empiris
- Trial by the media: Banyak kasus pidana dikonsumsi publik melalui media dengan narasi menghakimi. Pelaku belum diadili, tetapi publik sudah “mengadili” lebih dulu. Hal ini jelas melanggar asas praduga tak bersalah.
- Pernyataan aparat yang mengarah pada penghakiman: Polisi, jaksa, atau bahkan pejabat negara kerap menyampaikan opini yang secara prematur menyebut seseorang bersalah. Ini bertentangan dengan prinsip objektivitas.
- Bentuk perlakuan yang menghina martabat: Misalnya pemajangan tersangka dengan mengenakan pakaian tahanan dan borgol di depan media, tanpa mempertimbangkan status hukum mereka yang belum diputuskan.
- Politik hukum yang bias kekuasaan: Asas praduga tidak bersalah menjadi semu ketika kekuasaan bermain dalam proses hukum. Kasus-kasus dengan pelaku yang memiliki kekuatan politik atau ekonomi cenderung mendapatkan perlakuan berbeda dari masyarakat biasa.
Implikasi Pelanggaran Asas Ini
Menurut Prof. Muladi, pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah akan berakibat pada:
- Pencemaran nama baik dan reputasi sosial;
- Keretakan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan;
- Tumbuhnya ketidakadilan sistemik;
- Membuka ruang bagi peradilan sesat (miscarriage of justice).
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo dalam pandangan hukum progresif-nya menyatakan bahwa hukum bukan semata teks dan prosedur, melainkan harus mencerminkan keadilan dan kemanusiaan. Maka, praduga tidak bersalah bukan sekadar aturan, tetapi representasi dari etika keadilan.
Reformulasi dan Rekomendasi
Untuk mengembalikan roh dan makna praduga tak bersalah dalam praktik penegakan hukum, berikut langkah yang perlu dilakukan:
- Regulasi yang lebih eksplisit dan sanksi bagi pelanggar asas.
- Edukasi dan pelatihan bagi aparat penegak hukum tentang hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah.
- Pengawasan publik terhadap narasi media dan tindakan aparat.
Penguatan lembaga pengawas eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, dan Dewan
Pers agar lebih proaktif.
Penutup
Asas praduga tidak bersalah adalah wujud komitmen negara hukum terhadap keadilan dan kemanusiaan. Mengabaikan asas ini sama saja mengingkari prinsip moral yang melandasi sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, menghidupkan kembali nilai-nilai praduga tak bersalah dalam setiap tahapan proses hukum bukan hanya tugas aparat, tetapi tanggung jawab semua elemen masyarakat yang peduli terhadap tegaknya keadilan.
Daftar Pustaka
- Beccaria, Cesare. On Crimes and Punishments, 1764.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
2005.- Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Kompas, 2008.
- Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, 2002.
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
- UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
- UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
- Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010.
Komentar