Eksistensi Norma Hukum di antara Norma-Norma Lain dalam Hubungan Kemanusiaan
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat dan saling berinteraksi dalam hubungan kemanusiaan. Untuk menjaga keteraturan dalam interaksi tersebut, masyarakat mengenal berbagai norma sebagai pedoman perilaku. Di antara norma-norma itu, norma hukum memiliki posisi yang unik dan strategis karena sifatnya yang memaksa dan mengikat secara formal. Namun, norma hukum tidak berdiri sendiri; ia hadir di tengah norma-norma lain seperti norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Pertanyaannya: bagaimana eksistensi norma hukum di antara norma-norma tersebut dalam mengatur hubungan kemanusiaan?
Ragam Norma dalam Masyarakat
Dalam tatanan sosial, dikenal empat jenis norma utama:
-
Norma Agama
Berasal dari wahyu Tuhan dan mengikat umat beragama. Norma ini bersifat mutlak dan abadi karena dipercaya sebagai kebenaran ilahi. Contohnya: larangan mencuri, membunuh, atau berbohong.
-
Norma Kesusilaan
Berasal dari hati nurani manusia. Ia mengatur perilaku individu berdasarkan baik dan buruk. Misalnya: jujur, bertanggung jawab, dan tidak berbuat curang. -
Norma Kesopanan
Tumbuh dari adat dan kebiasaan masyarakat. Norma ini mengatur bagaimana seseorang harus bertindak agar diterima secara sosial, seperti menghormati orang tua atau berpakaian sopan.
-
Norma Hukum
Dibentuk oleh lembaga yang berwenang (negara) dan memiliki sanksi tegas bagi pelanggarnya. Misalnya, sanksi pidana terhadap pencurian atau penganiayaan.
Ciri Khas Norma Hukum
Norma hukum memiliki karakteristik yang membedakannya dari norma lainnya:
- Bersifat eksternal: tidak bergantung pada hati nurani atau kepercayaan personal.
- Mengikat secara umum dan objektif: berlaku untuk seluruh masyarakat tanpa pandang bulu.
- Mengandung sanksi yang tegas: pelanggaran terhadap norma hukum akan ditindak melalui mekanisme yang legal dan formal.
- Dibentuk oleh lembaga resmi: seperti DPR dan pemerintah.
Menurut Hans Kelsen (1961), hukum adalah sistem norma yang tersusun secara hierarkis, dengan norma dasar (grundnorm) sebagai fondasi. Dalam konteks ini, norma hukum menjadi bagian dari struktur sosial yang lebih luas, namun tetap memiliki kekuatan mengikat yang lebih keras dibandingkan norma lainnya.
Hukum dan Norma Lain dalam Relasi Kemanusiaan
Norma-norma dalam masyarakat tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Dalam hubungan kemanusiaan:
- Norma agama memberi dasar spiritual dan moralitas;
- Norma kesusilaan menjaga integritas pribadi;
- Norma kesopanan menjamin keharmonisan sosial;
- Norma hukum memberi perlindungan formal terhadap hak dan kewajiban manusia.
Dalam praktiknya, hukum yang baik seharusnya bersumber dari nilai-nilai agama, moralitas, dan budaya masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Gustav Radbruch (1946), hukum tidak boleh semata-mata dilihat sebagai norma formal, tetapi juga sebagai perwujudan keadilan. Hukum yang adil adalah hukum yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Fenomena Empiris: Ketika Norma Hukum Terlepas dari Norma Lain
Di Indonesia, masih sering ditemukan praktik hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama, bahkan rasa keadilan masyarakat. Misalnya:
- Putusan hukum yang membebaskan pelaku kejahatan besar karena celah prosedural;
- Penegakan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas;
- Proses hukum yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penyiksaan terhadap tersangka.
Hal ini menunjukkan adanya jurang antara norma hukum dengan norma lain, terutama ketika hukum dipraktikkan secara positivistik, tanpa memperhatikan substansi keadilan dan kemanusiaan.
Kebutuhan Integrasi Norma
Eksistensi norma hukum yang ideal seharusnya:
- Tidak mengabaikan norma agama dan moral: karena masyarakat Indonesia hidup dalam kultur religius dan berbudi pekerti.
- Mendukung keteraturan sosial tanpa represif: artinya hukum harus menjadi pelindung bukan penindas.
- Menjaga martabat manusia: sejalan dengan prinsip-prinsip HAM dan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, negara hukum Indonesia adalah negara hukum yang berdimensi moralitas Pancasila, bukan sekadar hukum legal-formal ala Barat.
Penutup
Norma hukum memiliki eksistensi strategis dalam kehidupan masyarakat, namun ia tidak dapat berdiri sendiri tanpa ditopang oleh norma-norma lain dalam relasi kemanusiaan. Ketika norma hukum bergerak seiring dengan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, maka terciptalah tatanan masyarakat yang adil, beradab, dan berkeadilan. Sebaliknya, jika norma hukum berjalan sendiri tanpa memperhatikan nilai-nilai luhur, maka ia berisiko menjadi alat kekuasaan yang kering dari keadilan.
Oleh karena itu, tugas kita sebagai akademisi, praktisi, dan warga negara adalah terus mendorong hadirnya norma hukum yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas bangsa.
Daftar Pustaka
- Hans Kelsen. Pure Theory of Law. University of California Press, 1961.
- Gustav Radbruch. Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law, 1946.
- Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press, 2005.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Kaelan. Pendidikan Pancasila. Paradigma, 2007.
Komentar