Mewujudkan Cita-Cita Negara Hukum Indonesia: Antara Idealisme Konstitusi dan Realitas Praktik
Pendahuluan
Cita-cita untuk menjadi negara hukum telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ungkapan ini tidak hanya sebuah deklarasi normatif, tetapi merupakan amanat konstitusional yang menyiratkan harapan besar agar Indonesia diselenggarakan berdasarkan supremasi hukum, bukan kekuasaan semata. Namun, dalam kenyataan, antara idealisme konstitusi dan praktik sehari-hari penegakan hukum, terdapat jurang yang belum sepenuhnya terjembatani.
Negara Hukum dalam Perspektif Indonesia
Secara umum, teori negara hukum (rechtstaat dalam tradisi Eropa kontinental dan rule of law dalam tradisi Anglo-Saxon) mensyaratkan adanya supremasi hukum, jaminan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, dan peradilan yang independen. Indonesia mengambil bentuk negara hukum dengan kepribadian sendiri, yaitu negara hukum Pancasila yang tidak sekadar formal-legalistik, melainkan juga bercirikan nilai-nilai moral, keadilan sosial, dan religiusitas.
Prof. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa negara hukum Pancasila memiliki sifat yang lebih luas dibanding rule of law, karena tidak hanya menekankan pada prosedur legal formal, tetapi juga nilai-nilai kebangsaan dan keadilan substantif (Asshiddiqie, 2009).
Cita-Cita Konstitusi tentang Negara Hukum
Cita-cita negara hukum dalam konstitusi Indonesia setidaknya mencakup:
- Supremasi Hukum: Hukum harus menjadi panglima, bukan alat kekuasaan.
- Persamaan di Depan Hukum: Tidak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum.
- Perlindungan HAM: Hak asasi dijamin dalam konstitusi dan harus dihormati oleh seluruh kekuasaan negara.
- Peradilan yang Merdeka: Peradilan bebas dari intervensi kekuasaan dan pengaruh luar.
- Keadilan Sosial: Hukum harus menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, cita-cita ini masih menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaannya.
Realitas Praktik: Jurang antara Norma dan Fakta
Dalam praktik, masih banyak pelanggaran terhadap prinsip negara hukum, di antaranya:
- Diskriminasi dalam Penegakan Hukum: Banyak kasus menunjukkan hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
- Penyalahgunaan Wewenang: Aparat penegak hukum kerap bertindak melebihi kewenangannya, atau tunduk pada tekanan politik.
- Intervensi Kekuasaan terhadap Lembaga Hukum: Lembaga peradilan tidak selalu bebas dari pengaruh penguasa atau elite politik.
- Rendahnya Kepercayaan Publik: Survei LSI (2022) menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan.
Menuju Realisasi Cita-Cita Negara Hukum
Untuk mewujudkan negara hukum sebagaimana dicita-citakan konstitusi, diperlukan langkah- langkah strategis, antara lain:
- Reformasi Aparat Penegak Hukum: Profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas harus menjadi standar utama dalam rekrutmen dan promosi.
- Penguatan Pendidikan Hukum yang Berbasis Etika: Para calon penegak hukum harus dibekali dengan pendidikan etika dan keadilan substantif.
- Partisipasi Masyarakat: Masyarakat harus diberdayakan untuk ikut mengawasi dan memberi masukan dalam proses hukum.
- Penerapan Hukum yang Tidak Selektif: Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi terhadap pelanggar dari kalangan elite.
Penutup
Mewujudkan negara hukum di Indonesia bukan sekadar menegakkan teks undang-undang, tetapi menghidupkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan dalam setiap proses hukum. Idealisme konstitusi hanya akan bermakna bila diiringi oleh praktik hukum yang adil, bersih, dan tidak diskriminatif. Jurang antara norma dan praktik harus terus dijembatani melalui reformasi struktural, penguatan etika, dan partisipasi publik yang kritis.
Daftar Pustaka
- Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2009.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Lembaga Survei Indonesia (LSI). “Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegak Hukum”, 2022.
Komentar