Lemahnya Supremasi Hukum: Hukum Menjadi Selektif, Hanya Berlaku untuk yang Lemah atau Tidak Memiliki Kuasa

Oleh Basri, S.H.,M.Hum 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang


Pendahuluan

Negara hukum seharusnya menempatkan hukum di atas segala bentuk kekuasaan, jabatan, dan kepentingan. Namun realitas yang kerap terlihat menunjukkan kondisi sebaliknya: hukum menjadi selektif, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Supremasi hukum yang semestinya menjamin persamaan di depan hukum (equality before the law) menjadi lemah ketika praktik penegakan hukum diseret oleh kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan.

Supremasi Hukum: Prinsip dan Kenyataan

Supremasi hukum (rule of law) menegaskan bahwa hukum harus menjadi panglima. Semua warga negara, tanpa kecuali, tunduk pada hukum yang berlaku. Prinsip ini ditegaskan oleh A.V. Dicey, seorang pemikir hukum klasik Inggris, bahwa:

“No one is above the law, and everyone is subject to the ordinary law administered by the ordinary courts.”
(Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 1885)

Namun di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, prinsip ini kerap kali hanya menjadi jargon. Hukum tidak diterapkan secara adil dan konsisten, tetapi dipraktikkan berdasarkan kekuatan ekonomi, pengaruh politik, atau status sosial.

Hukum yang Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Fenomena ini dapat disaksikan dalam banyak kasus:

  • Pelanggaran hukum oleh pejabat atau orang berpengaruh kerap kali "diselesaikan secara internal", lamban ditangani, atau bahkan hilang dari pantauan publik.
  • Rakyat kecil, seperti pedagang kaki lima, sopir, atau buruh, dihukum tanpa kompromi, bahkan atas pelanggaran kecil.

Studi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komnas HAM menunjukkan bahwa sebagian besar penegakan hukum pidana yang cepat dan tegas justru menyasar pada masyarakat miskin dan tidak berdaya, bukan pada para elite yang memiliki kuasa atau kekayaan.

Keadilan yang Tidak Netral

Supremasi hukum yang lemah menciptakan dua bentuk hukum:

  1. Hukum bagi yang berkuasa, yang penuh negosiasi, kompromi, bahkan pengaburan.
  2. Hukum bagi rakyat biasa, yang keras, tanpa empati, dan administratif semata.

Dalam pandangan Franz Magnis-Suseno (2004), ketika hukum hanya berpihak pada yang kuat, maka negara kehilangan moralitasnya dan masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem hukum itu sendiri.

Dampak Sosial dan Politik

  1. Meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum dan negara.
  2. Suburnya ketidakadilan struktural, di mana kekuasaan menciptakan impunitas.
  3. Potensi konflik sosial, karena hukum tidak lagi berfungsi sebagai instrumen keadilan.

Sosiolog hukum Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan bahwa:

“Hukum harus berpihak pada yang lemah, bukan malah melemahkan yang sudah lemah.” (Ilmu Hukum Progresif, 2006)

Solusi: Menguatkan Supremasi Hukum

  1. Reformasi kelembagaan penegak hukum, agar bebas dari intervensi politik dan tekanan kekuasaan.
  2. Pendidikan etika dan integritas hukum, baik di kalangan aparat maupun masyarakat luas.
  3. Penerapan prinsip persamaan di depan hukum secara tegas dan konsisten.

Penutup

Hukum bukan milik segelintir orang. Ia adalah milik publik yang dijalankan demi keadilan bersama. Ketika hukum hanya berlaku bagi yang lemah dan melindungi yang kuat, maka kita tidak sedang hidup dalam negara hukum, melainkan negara kekuasaan. Supremasi hukum harus ditegakkan bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai komitmen moral, etika, dan kemanusiaan.

Referensi

  • A.V. Dicey. (1885). Introduction to the Study of the Law of the Constitution.
  • Franz Magnis-Suseno. (2004). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
  • Satjipto Rahardjo. (2006). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan.
  • Komnas HAM. (2022). Laporan Tahunan Hak Asasi Manusia.
  • Indonesia Corruption Watch. (2023). Potret Keadilan Selektif di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepastian Hukum: Pilar Stabilitas dalam Negara Hukum

Dekolonisasi Hukum Indonesia: Mengapa Kita Masih Terjebak dalam Warisan Kolonial?

Ketika Hukum Dibajak Kepentingan: Menelusuri Jejak Intervensi Politik dalam Penegakan Hukum