Erosi Etika Profesi: Aparat yang Melihat Pelanggaran tapi Diam, Akhirnya Menjadi Bagian dari Sistem yang Rusak

Oleh Basri, S.H.,M.Hum
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang


Pendahuluan

Etika profesi adalah fondasi moral yang harus menuntun perilaku para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Namun dalam praktiknya, tidak jarang kita melihat aparat yang menyaksikan pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kewenangan oleh koleganya, namun memilih diam. Diam bukan karena tidak tahu, melainkan karena takut, merasa tidak berdaya, atau bahkan karena sudah terbiasa dengan budaya permisif dalam institusinya. Di sinilah letak awal kerusakan sistem yang merusak hukum itu sendiri dari dalam.

Etika Profesi: Pilar Moral dalam Penegakan Hukum

Etika profesi bukan sekadar aturan tertulis dalam kode etik, melainkan komitmen personal dan institusional untuk menjaga integritas profesi. Menurut Sudarsono (2007), etika profesi adalah seperangkat prinsip moral yang mengatur perilaku seorang profesional dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dan adil.

Bagi penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, dan advokat, etika profesi adalah tameng terhadap penyimpangan kekuasaan. Ketika aparat melihat penyimpangan tetapi diam, maka itu merupakan pelanggaran diam-diam yang justru mempercepat runtuhnya sistem.

Budaya Diam: Jalan Sunyi menuju Kebusukan Sistemik

Fenomena ini dikenal sebagai the spiral of silence dalam kajian sosiologi komunikasi. Ketika seseorang memilih diam terhadap kesalahan karena tekanan sosial, kekuasaan, atau budaya organisasi, maka kesalahan itu dianggap normal dan berulang.

Menurut Transparency International (2022), salah satu penyebab merajalelanya korupsi dan pelanggaran hukum di institusi penegak hukum di negara berkembang adalah budaya diam dan tidak adanya perlindungan terhadap whistleblower.

“Silence in the face of wrongdoing is not neutrality; it is complicity.” — Desmond Tutu

Aparat yang diam terhadap pelanggaran, secara sadar atau tidak, sedang membiarkan kejahatan bertumbuh dan menjadikan dirinya bagian dari sistem yang korup.

Dampak Etis dan Sistemik

  1. Normalisasi Pelanggaran: Ketika pelanggaran dibiarkan, maka hal itu menjadi kebiasaan dan bagian dari “budaya kerja”.
  2. Rusaknya Kepercayaan Publik: Masyarakat tidak lagi percaya kepada aparat karena melihat sendiri bahwa kebenaran dikhianati oleh diamnya orang-orang baik.
  3. Tumbuhnya Kekuasaan Tanpa Kontrol: Ketika aparat internal tidak saling mengoreksi, pengawasan eksternal menjadi tumpul.

Menurut Michel Foucault, kekuasaan tanpa pengawasan akan selalu menciptakan mekanisme dominasi yang membungkam kritik dan membiarkan kesewenang-wenangan hidup dalam sistem.

Refleksi Teologis dan Filosofis

Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman."
(HR. Muslim)

Ini menunjukkan bahwa diam terhadap kebatilan bukanlah pilihan yang dibenarkan, apalagi dalam konteks profesi yang berkewajiban menegakkan keadilan.

Secara filosofis, Immanuel Kant juga menekankan pentingnya moral duty dalam tindakan manusia. Etika bukan hanya persoalan hukum positif, tetapi tentang niat dan keberanian untuk melakukan yang benar, bahkan dalam kesunyian.

Solusi: Menghidupkan Budaya Etis dan Tanggung Jawab

  1. Internalisasi nilai-nilai etika dalam pendidikan hukum dan pelatihan aparat.
  2. Perlindungan maksimal terhadap whistleblower dan pemberantas pelanggaran internal.
  3. Pengawasan dan evaluasi berkala terhadap kinerja dan integritas lembaga penegak hukum.
  4. Penguatan mekanisme pertanggungjawaban moral dan institusional.

Penutup

Diamnya seorang aparat terhadap pelanggaran bukanlah bentuk netralitas. Ia adalah pengkhianatan terhadap hukum, masyarakat, dan profesinya sendiri. Ketika yang benar dibungkam dan yang salah dibiarkan, maka sistem akan runtuh bukan oleh musuh dari luar, tetapi oleh pengkhianatan dari dalam. Inilah saatnya kembali menegakkan etika profesi sebagai tameng terakhir dari kehancuran sistem hukum.

Referensi

  • Sudarsono. (2007). Etika Profesi dan Etika Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Transparency International. (2022). Global Corruption Report: Justice and Law Enforcement.
  • Desmond Tutu. Silence is complicity (kutipan publik, 1997).
  • HR Muslim. Kitab Al-Iman.
  • Immanuel Kant. (1785). Groundwork for the Metaphysics of Morals.
  • Foucault, Michel. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepastian Hukum: Pilar Stabilitas dalam Negara Hukum

Dekolonisasi Hukum Indonesia: Mengapa Kita Masih Terjebak dalam Warisan Kolonial?

Ketika Hukum Dibajak Kepentingan: Menelusuri Jejak Intervensi Politik dalam Penegakan Hukum