Pelaksanaan Penyelidikan yang Menjunjung Tinggi Asas Praduga Tidak Bersalah
Pendahuluan
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penyelidikan merupakan tahapan awal yang sangat strategis. Ia berfungsi untuk mencari dan menemukan adanya dugaan suatu peristiwa pidana (Pasal 1 angka 5 KUHAP). Namun demikian, karena berada di awal proses penegakan hukum, penyelidikan sering menjadi titik rawan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
Penerapan asas ini seharusnya menjadi ruh dari setiap tindakan hukum, termasuk dalam proses penyelidikan. Namun dalam praktiknya, penyelidikan kadang dilaksanakan secara terburu-buru, dengan penilaian subyektif, bahkan didorong oleh tekanan politik, publik, atau media. Oleh karena itu, penting dilakukan penegasan tentang bagaimana pelaksanaan penyelidikan seharusnya menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.
Landasan Hukum dan Konseptual
Asas praduga tidak bersalah diakui dalam berbagai norma hukum nasional maupun internasional:
-
Pasal 8 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau diadili wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya."
-
Pasal 14 ayat (2) ICCPR (diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005): "Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law."
-
Dalam KUHAP, asas ini termanifestasi melalui perlindungan terhadap tersangka sejak tahap awal: hak atas pendampingan hukum, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diam, dan hak atas privasi.
Penyelidikan: Bukan Arena Penghakiman
Menurut M. Yahya Harahap (2005), penyelidikan bukanlah ajang penentuan kesalahan, melainkan pengumpulan informasi awal untuk mengetahui apakah suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, menstigma seseorang sebagai pelaku sejak tahap penyelidikan adalah bentuk pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.
Satjipto Rahardjo menekankan bahwa hukum yang baik harus memanusiakan manusia. Maka dalam tahap penyelidikan, penyidik harus menjunjung tinggi martabat manusia dengan tidak melakukan tindakan sewenang-wenang seperti:
- Menyampaikan identitas atau wajah orang yang baru dicurigai ke publik;
- Mengambil tindakan represif (seperti penangkapan) tanpa dasar hukum dan bukti permulaan yang cukup;
- Melakukan tekanan psikis atau fisik terhadap terduga.
Fakta Empiris di Indonesia
Kasus penyelidikan terhadap publik figur atau aktivis sering menunjukkan pelanggaran asas praduga tidak bersalah, misalnya:
- Kasus kriminalisasi aktivis atau tokoh oposisi: Penyelidikan dilakukan secara terbuka dan cenderung menghakimi di media sebelum bukti cukup ditemukan.
- Penggunaan media sosial dan media massa oleh aparat: Pernyataan resmi yang menyebut seseorang sebagai "pelaku" sebelum ada penetapan resmi.
- Penangkapan dini tanpa pemeriksaan objektif: Bertentangan dengan prinsip due process of law.
Semua itu membuktikan bahwa penyelidikan belum sepenuhnya diletakkan sebagai tahap prajudisial yang netral.
Penyelidikan Berbasis HAM dan Hukum Progresif
Sebagaimana ditegaskan oleh Muladi (2002), pendekatan hukum pidana modern harus menjunjung tinggi hak asasi manusia sejak awal proses. Penyelidikan tidak boleh menjadi sarana pembenaran tindakan koersif aparat, melainkan sebagai langkah rasional untuk menyeimbangkan antara perlindungan masyarakat dan hak individu.
Hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo juga menghendaki bahwa hukum tidak boleh sekadar "menangkap" siapa yang mudah dijadikan tersangka, tetapi juga memastikan bahwa tindakan hukum adalah adil secara sosial dan substansial.
Rekomendasi Implementasi
Agar asas praduga tidak bersalah benar-benar terjaga dalam proses penyelidikan, maka perlu dilakukan:
- Peningkatan pemahaman aparat terhadap HAM dan hukum acara pidana;
- Pengawasan eksternal terhadap kinerja penyelidik;
Larangan menyampaikan identitas atau dugaan keterlibatan tersangka sebelum
bukti cukup;- Audit etik oleh lembaga seperti Kompolnas atau Komnas HAM atas tindakan yang melanggar asas praduga tidak bersalah;
- Pemberdayaan lembaga peradilan sebagai penyeimbang dalam pengawasan tindakan awal penyelidikan.
Penutup
Asas praduga tidak bersalah adalah roh dari sistem hukum yang adil. Dalam tahap penyelidikan, asas ini harus menjadi prinsip utama agar proses hukum tidak menjadi alat kekuasaan atau pembenaran tindakan represif. Negara hukum yang demokratis ditandai oleh perlindungan terhadap warga negaranya sejak dari langkah pertama penegakan hukum, bukan hanya pada akhirnya di pengadilan. Oleh karena itu, penyelidikan harus dilaksanakan dengan kehati-hatian tinggi, profesionalisme, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Daftar Pustaka
- Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2005.
- Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, 2002.
- Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Kompas, 2008.
- UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR
Komentar